Kemarin, saya menceritakan soal adanya “kursus memikat wanita”, sebuah kursus yang bagi saya artifisial, namun mungkin ada saja yang merasa perlu. Silahkan saja, mungkin ada banyak pria-pria kesepian –meminjam judul lagunya Sheila On 7– yang tertolong dengan kursus itu.
Namun sejatinya, mencari wanita –bagi pria- atau sebaliknya mencari pria bagi wanita, sebenarnya adalah mencari afeksi. Kita mencoba mendapatkan satu orang –satu orang saja di antara lebih dari lima milyar orang di bumi- yang mau menerima segala kekurangan, kebodohan, kejelekan atau kejahatan kita. Karena dalam jiwa tiap manusia, selalu terdapat ‘sisi gelap’ yang biasanya kita sembunyikan dari orang lain. Dan hanya kepada orang yang kita cintai itulah kita berharap dapat mengungkapkan ‘sisi gelap’ itu.
Kalau saat ini ada di antara LifeLearner yang sudah menikah, dan masih saja menyembunyikan ‘sisi gelap’ dari pasangannya, sesungguhnya pernikahan macam itu sudah jadi dusta. Berarti Anda tidak cukup percaya kepada pasangan Anda dan sebaliknya, Anda pun tidak cukup percaya diri untuk yakin pada ‘sisi terang’ Anda. Karena pasti, orang yang mencintai kita akan melihat ‘sisi terang’ berkilau jauh lebih gemilang daripada ‘sisi gelap’nya.
Demikian pula saat kita mencoba meraih cinta dari orang asing, yang kemudian justru akan jadi belahan jiwa kita, tentunya harus dilandasi kejujuran dan niat baik. Mudah saja menjadi pria ‘gentleman’ atau ‘macho’ yang disukai wanita, tapi amat sulit jadi ‘pria baik yang cinta keluarga’ yang menjadi idaman setiap wanita dan calon mertua. Karena pria yang tahu dirinya hebat, biasanya akan merasa pantas mendapatkan lebih banyak penghargaan lagi dari orang lain. Termasuk, ia akan haus pula penghargaan dari wanita. Hal ini berlaku pula sebaliknya bagi wanita.
Seorang teman kerja saya dulu sewaktu saya masih ngantor, seringkali mengeluh tentang istrinya. Bahkan ia kerapkali menyatakan tidak lagi mencintai istrinya. Apalagi lingkungan kerja kami memang dikitari banyak wanita cantik. Kecenderungannya untuk berselingkuh besar, hanya saja ia tidak berani karena ketergantungannya pada penghormatan keluarga mengingat ia adalah anak sulung yang dianggap panutan. Orang macam ini tidak mampu menghargai cinta yang telah didapatkannya dari seseorang yang setidaknya pernah ia cintai pula. Ia mungkin belum pernah sampai pada taraf kehilangan seseorang yang dicintainya.
Saya sudah.
Saya yakin banyak juga di antara LifeLearner yang juga sudah.
Atau mungkin teman kerja saya tadi juga sudah, tapi tak mampu menarik pelajaran hidup darinya.
Beberapa kali pula saya menemui orang-orang yang kehilangan orang yang dicintainya. Siapapun mereka bagi Anda. Pacar, suami atau istri, orangtua, kakek-nenek, paman-bibi, atau pembantu yang merawat kita dari kecil.
Satu hal pasti, kita baru merasa penting dan istimewanya orang yang kita cintai saat ia telah meninggalkan kita. Apapun sebabnya. Siapa pun dia.
Karena itu, cobalah tersenyum saat hendak berpisah dengan orang-orang yang Anda cintai dan mencintai Anda setulus hati. Mereka adalah orang-orang yang selalu berada di samping Anda tiap harinya. Cobalah pula memandang wajah mereka dengan penuh kasih. Meski seolah Anda akan segera bertemu mereka lagi, tapi kita tak tahu rencana Sang Hidup. Siapa tahu, itu adalah pertemuan terakhir Anda dengan orang yang Anda cintai. Siapa pun yang pergi, tinggalkanlah kenangan manis dengan seulas senyum. “Agar cinta kita selalu abadi,” meminjam lirik lagu Kasih Tak Sampai-nya Padi.
begitu ya pak yah?