Saat kita ’nebeng’ bangga karena Obama yang baru saja terpilih sebagai Presiden ke-44 AS pernah tinggal di Indonesia, sebenarnya terasa aroma inferioritas kita sebagai negara dunia ketiga. Obama yang cuma ‘numpang lewat’ di negara kita karena ibunya menikah dengan orang Indonesia, lantas kita anggap ‘saudara’. Demikian juga dengan euforia yang meledak di berbagai belahan dunia. Seakan, terpilihnya Obama adalah jawaban dari do’a panjang kita semua yang telah jenuh pada dominasi dan hegemoni A.S.
Semua itu karena Obama membawa janji “Change” atau perubahan. Ia menjanjikan tidak hanya A.S., tapi juga dunia yang lebih baik. Toh, kita harus ingat bahwa bagaimanapun A.S. adalah sebuah negara dengan sistem ketatanegaraan yang sudah solid. Sehingga, untuk kebijakan tertentu sulit dibuat gantinya. Misalnya saja soal kebijakan pro-Israel yang saya singgung kemarin.
Di saat semua seolah merasa ‘attached’ dengan pria charming berkulit hitam yang di masa kecilnya kerap dipanggil ’Barry’ oleh teman-temannya di Indonesia, justru di saat bersamaan kita merasa tidak mau merasa dekat dengan saudara sebangsa. Mereka adalah Amrozi, Imam Samudra dan Muklas alias Ali Ghufron. Kenapa? Tentu saja kalau Obama adalah pahlawan atau setidaknya harapan bagi sebagian besar orang, ketiga orang tadi adalah bandit-bajingan bagi sebagian orang juga. Jelas saja, ketiganya divonis terbukti bersalah melakukan peledakan Bom Bali I 12 Oktober 2002. Dan karenanya ketiganya pun dicap teroris yang sudah akan menjalani eksekusi dari vonis hukuman mati mereka.
Saya tidak mau masuk wilayah hukum. Semua jalan yang dimungkinkan hukum memang sudah tertutup. Dan sudah seharusnya eksekusi ketiganya dilaksanakan. Meski apakah perlu dihukum mati atau tidak, itu yang jadi perdebatan.
Saya justru masuk ke wilayah kemanusiaan. Bagaimanapun, ketiganya manusia. Dan mereka juga punya keluarga. Entah dengan alasan apa, menjelang pelaksanaan hukuman mati, malah keluarga dan tim pembelanya kesulitan menemui mereka. Padahal, di luar negeri, menjelang pelaksanaan hukuman, terpidana hukuman mati malah akan dipenuhi segala keinginannya. Dan sebagai manusia yang sebentar lagi menghadap Tuhan yang mereka yakini, tentu saja pemenuhan hak asasi mereka pun seharusnya dipertimbangkan. Tindakan mereka memang sudah sepatutnya mendapatkan hukuman. Karena tanpa mereka sadari, apapun alasannya dan motivasinya, tindakan itu telah mencoreng muka agama yang katanya mereka bela. Juga bangsa mereka sendiri. Dan saya pada posisi dimana mereka harus mempertanggungjawabkannya dengan jantan.
Saya justru salut pada orang-orang di sekitarnya yang dengan tabah mendampingi terpidana. Karena tidak mudah untuk senantiasa tegar di saat-saat sulit seperti itu. Apalagi tetap berdekatan dengan orang yang seolah menderita ‘kusta’ karena dijauhi orang-orang lainnya. Dan di saat sulit inilah penting sekali kita menggunakan pikiran positif yang kerapkali disuarakan teorinya itu.
Pada saat berdekatan, Aulia Pohan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia juga sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Ia dijadikan tersangka dalam kasus korupsi aliran dana BI. Padahal, dulu sempat beredar tudingan KPK tidak bakal berani menjadikan besan Presiden SBY itu tersangka. Dan ini merupakan langkah maju dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena ini membuktikan, baik Amrozi cs. maupun kerabat Presiden adalah sama di mata hukum.
Bila kita mau ikut bergembira bersama Oom Bama, maka langkah pertama adalah bangga dulu sebagai bangsa Indonesia. Karena sebagai putra bangsa, kita tentu tak akan tega mencoreng namanya. Baik dengan tindakan korupsi, apalagi terorisme. Barulah kita bisa berharap, kelak Indonesia akan bisa semaju A.S. dan punya pemimpin sekharismatik serta sepintar Obama.