Kemarin, saya menyinggung istilah “penjahat publik”. Mereka adalah para penjahat yang bersalah kepada publik, rakyat, khalayak, atau masyarakat. Terserah Anda istilah mana yang dipilih. Hanya saja, kalau Anda perhatikan, seorang penjahat biasanya hanya bersalah kepada seseorang, beberapa orang atau kelompok orang saja. Misalnya pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan. Kasus tersebut secara keseluruhan ‘hanya’ merugikan korban, keluarga dan kerabatnya saja. Publik secara umum tidak langsung dirugikan. Kecuali, tentu saja kalau bicara tatanan moral, maka moral umum terguncang. Selain itu, tidak ada yang dirugikan secara langsung. Akan tetapi, para penjahat publik merugikan kepentingan publik karena mereka merampas hak publik.
Di masa lalu, terutama di abad pertengahan, hukuman untuk para penjahat publik mengerikan. Minimal ya dipertontonkan di hadapan publik untuk kemudian dihukum dengan mengerikan. Sayangnya, karena para penguasa umumnya adalah raja yang otoriter, maka kriteria penjahat publik amat bias dan terserah ‘selera’ penguasa. Umumnya, yang dikategorikan penjahat publik adalah orang-orang yang dianggap makar atau menentang kebijakan penguasa.
Kini, di zaman post modern ini, penjahat publik merupakan orang yang secara ‘gampangan’ menyalahgunakan kewenangannya yang terkait kepentingan publik. Di sini, kemudian terjadi kategorisasinya menjadi ’penjahat kerah putih’. Dalam kehidupan normal, mereka bukanlah penjahat, melainkan orang biasa dengan pekerjaan yang bahkan terhormat. Namun, di balik itu, mereka sebenarnya punya ’kelainan’, yaitu menjahati masyarakat.
Saya dari dulu heran, kenapa pembuktian terbalik dengan logika yang amat terang tidak bisa diterapkan di sini? Padahal, sudah semenjak Renaissance di abad XVIII bangsa-bangsa barat terutama Eropa menggunakannya dalam sistem hukum mereka. Makanya, tak heran sistem mereka –termasuk hukum, politik, dan pemerintahan- jauh lebih teratur.
Pembuktian terhadap penjahat publik ini susah-susah gampang. Intinya begini: apakah yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh seseorang itu benar merupakan haknya atau merupakan milik publik yang dikuasakan kepadanya? Dan tidak sulit membuktikannya, cuma perlu matematika ala anak SD saja. Di sini kita jelas menghitung harta milik seseorang yang diduga melakukan kejahatan publik. Karena menurut pengamatan saya, kejahatan publik yang terutama adalah penguasaan atas kapital. Artinya, sifatnya ekonomis.
Dalam penghitungan ini, tinggal lihat saja berapa sebenarnya kekayaan riil seseorang. Ini kemudian akan dikurangi dengan penghasilan seseorang dalam kurun waktu tertentu dari sumber resmi dan teridentifikasi. Sisanya, itulah kapital yang patut diselidiki asal-usulnya. Saya pernah menulis soal jaksa kerabat rekan saya. Agak mengherankan bagaimana bisa pegawai negeri golongan IV A bisa sekaya itu (yang terlihat adalah punya empat rumah dan sekian mobil). Kalau Anda iseng mengamati, silahkan perhatikan dengan jelas betapa banyaknya polisi berpangkat bintara yang setara dengan pegawai negeri golongan II yang memiliki kendaraan roda empat. Padahal, Anda tahu kan gaji pegawai negeri golongan tersebut hanya UMR lebih sedikit.
Nah, karena negeri kita ini mayoritas penduduknya ber-KTP Islam, maka bulan Ramadhan ini semua orang beramai-ramai ingin menjadi suci dan bersih ala Islam. Ada ibadah bernama zakat yang terbagi menjadi zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah wajib bagi setiap muslim yang sudah akil-balig, sementara zakat mal hanya bagi yang telah meemenuhi nisab atau batas persyaratan termasuk jumlah harta yang dimiliki. Zakat ini hanya bisa dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Dan karena ini berkaitan dengan kapital, maka seolah ini adalah cara untuk ’money laundering’. Seolah, dengan berzakat maka harta yang dizakati akan jadi bersih.
Padahal, dalam Islam, bukan cuma penggunaannya yang harus baik, tapi juga asal dan bagaimana cara mendapatkan kapital jelas harus halal dan thoyib. Banyak orang berkelebihan kapital mengira cuma dengan berzakat dan bersedekah semua harta yang diperolehnya dengan cara ’abu-abu’ akan jadi ’putih’. Padahal, zakat itu esensinya adalah mengambil hak orang yang tidak berpunya yang seharusnya memang menjadi tanggung-jawab mereka yang berpunya. Karena kalau tidak diambil dengan perintah, niscaya sebagian besar orang enggan menyisihkan hartanya. Jadi, bukanlah untuk pemutihan harta yang diperoleh dengan menjahati publik.