Married with Children

Seorang teman wanita saya yang baru saja menikah bercerita, karena saking takutnya sendirian, ia selalu minta ditemani saat harus ke kamar mandi. Dan bahkan perilaku itu tidak berubah meski sudah menikah. Yang berubah cuma yang menemani. Kalau dulu ibu atau bapaknya, kini suaminya.
Saya geleng-geleng kepala. Apa sikap itu masih akan dipertahankan kelak kalau sudah punya anak?
Seringkali, kita sebenarnya tak siap jadi orangtua. Kita tak dibekali ilmu yang cukup saat ’terpaksa’ atau ’dipaksa’ menikah. Maka, seringkali saat menikah, sebenarnya yang terjadi adalah fenomena “Married with Children”. Ini adalah judul serial film yang dulu sempat tayang di TVRI.
Tentu sebagai orang yang dianggap sudah dewasa, pasangan yang menikah tak ingin dianggap anak-anak. Nyatanya, saya melihat banyak teman-teman saya yang sejatinya belum siap menikah, apalagi menjadi orangtua. Dan ini akan berefek amat buruk bagi anak-anak di kemudian hari kelak. Seperti kata pepatah yang asalnya hadits Nabi, anak itu ibarat kertas putih, orangtua (dan lingkunganlah) yang menjadikannya berisi aneka macam tulisan atau gambar.
Sulitnya, menikah yang prosesinya cuma beberapa menit konsekuensinya tahunan, kalau tidak malah seumur hidup. Seringkali keputusan diambil dalam kondisi emosi. Sehingga tidak bisa optimal. Dan sebaiknya, sebagai orangtua tak pernah berhenti belajar. Apalagi kalau Anda bisa baca blog ini, berarti Anda tergolong berpendidikan tinggi karena melek TI. Dan kalau TI yang rumit saja Anda bisa, berarti untuk sekedar belajar jadi orangtua pastinya tidak sulit dong.
Saat membeli sebuah majalah wanita muslimah, saya melihat ada sebuah lembaga yang sampai mengajarkan “kursus jadi orangtua”. Dan pesertanya ternyata banyak sekali. Ternyata, belajar jadi orangtua itu tidak gampang.
Tapi tahu teori tentu tak pasti mahir praktek. Sebaliknya, asal nyebur ke praktek pun tak menjamin bakalan jadi super.
Satu hal yang saya tahu, sebagian besar orang cuma meneruskan pola asuh yang dulu diajarkan orangtuanya kepada dirinya. Kini, ia pun meneruskan pola tersebut pada anak-anaknya, bahkan nyaris tanpa koreksi. Tak heran pepatah kita mengenal ”air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”.
Padahal, seharusnya kita mampu mengikis pola negatif atau keliru dari orangtua kita. Sehingga, kelak anak-anak kita mampu menjadi lebih hebat daripada kita. Bukankah kita tak ingin anak-anak kita kelak menganggap kita sebagai biang kegagalan hidupnya? Kita ingin dikenang sebagai orangtua yang berjasa bagi kehidupannya, justru dengan terus-menerus belajar dan mengembangkan diri dalam kehidupan. Bukan lantas berhenti dan merasa cukup.

2 responses to “Married with Children

  1. hehehehe….
    mas Bhayu g belebihan tuh
    masak yg bisa baca blog aja termasuk melek TI,
    trus yg melek TI berpendidikan tinggi…
    nah loh pdahal jago2 IT ada jg yg g sekolah….
    macam mbah William B Gates

    semangat trus yha mas posting tulisannya…
    saya ngikuti lho…..

    nuwun….

  2. bener, mas..
    saya setuju, kl jadi orang tua tuh mbok ya bercita-cita anak-anaknya menjadi lebih hebat dari dirinya sendiri dan berusaha mengubah hal negatif di pola asuh yang lalu menjadi hal yang positif..selalu belajar dari pengalaman hidup…itulah yang membuat hidup seseorang menjadi lebih bermakna….

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s