Zakat

Sewaktu masih SMA kelas dua, saya pernah diberi amanat sebagai Ketua Amil ZIS (Zakat, Infak, dan Sodakoh) di masjid kompleks saya. Pontang-panting saya belajar mengenai ketiga hal itu karena pada dasarnya saya yang cuma sekolah di sekolah umum negeri amat minim pengetahuan agamanya. Tapi lumayan juga, karena rekan-rekan panitia yang lain amat membantu, maka tugas berat tersebut relatif sukses. Sebenarnya, memang sudah kebiasaan di masjid kompleks saya saja yang penyelenggaraan hari-hari besar agama Islamnya diserahkan pada remaja masjid. Dan kebetulan pula saya adalah aktivis yang kemudian dipercaya jadi ketua.

Makanya, sewaktu saya mendengar berita jatuhnya korban jiwa hingga 21 orang saat pembagian zakat di Pasuruan, tak urung saya terhenyak. Terhenyak, karena tampak sekali panitianya tidak berhati-hati menjaga amanat dari umat. Memang, beda dengan masjid atau lembaga amil yang harus ’mengemis’ zakat, pembagian zakat di Pasuruan justru dilakukan oleh seorang dermawan kaya-raya secara tunggal. Tak perlu lagi mengais-ais dari berbagai sumber muzzaki (pemberi zakat).

Kalau saya tidak salah ingat, dulu saya sampai harus mengecek ulang berkali-kali apakah benar daftar yang diberikan oleh para Ketua RT sudah mencakup semua mustahiq (penerima zakat) di lingkungan masjid komplek saya. Dan saya periksa apakah benar mereka berhak menerima dan bukan karena sekedar nepotisme dengan si pembuat daftar. Akhirnya, karena terbatasnya jumlah zakat yang kami terima, ada sejumlah nama terpaksa dicoret dan itu pun dengan hati-hati karena kami pandang mereka sudah tidak perlu menerima lagi. Misalnya ada lebih dari satu nama yang didaftarkan dalam satu rumah.

Saya juga ingat menerima kupon dengan kertas khusus dari ketua umum yayasan masjid kami untuk digunakan sebagai kupon bagi mustahik. Dengan komputer, saya rancang desain kupon yang unik sehingga saat diprint kupon tersebut dipastikan tidak akan bisa dipalsukan. Pembagian kupon pun dilakukan hanya satu hari sebelum pembagian zakat. Dengan demikian mempersempit kemungkinan digandakan atau dipalsukan.

Sedemikian hati-hati kami karena kami sadar pekerjaan ini adalah amanat agama yang diawasi langsung oleh Allah. Dan tentu saja tidak perlu jatuh korban karena pembagiannya dilakukan dengan tertib, bahkan memakai sistem jadwal dengan shift agar tidak datang berbarengan. Kami takut, bila dalam penyaluran amanat ini kami lalai, pertanggungjawaban kami kepada Allah akan sulit nantinya.

Saya tidak mau berkomentar apa pun soal pekerjaan orang lain. Apalagi dalam kasus Pasuruan sebenarnya sudah bertahun-tahun pembagian zakat dilangsungkan dan sang dermawan cuma bermaksud baik. Yang saya heran justru ketiadaan antisipasi aparat untuk membantu. Apakah karena tidak dapat ’uang operasi’ sehingga tidak berjaga? Semoga saja tidak. Yang jelas, selain masalah ketidaksiapan panitia, saya memandang kejadian tersebut sebagai gambaran, sebenarnya rakyat miskin kita lebih banyak dari data statistik resmi yang dibuat BPS. Sehingga demi Rp 50.000,00 mereka rela berdesakan antri berjam-jam berebut dengan ribuan orang lainnya. Astaghfirullah.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s