Dalam hidup, kita kerapkali berhadapan dengan situasi dimana seolah tak ada pilihan lagi untuk diambil. Dalam kondisi ekstrem kita sering temui dalam film, saat dinosaurus mengejar kita, ternyata jalan yang kita tempuh menuju ke jurang. Nah, kita mau berbalik dengan resiko berhadapan dengan si dino tadi, atau terjun ke jurang saja. Kalau di film, hampir pasti si jagoan akan terjun ke jurang. Karena nantinya di jurang itu ternyata ia nyangkut di pohon dan bisa masuk ke gua yang menuju ke jalan lain. Atau nyebur ke sungai. Ujungnya, tentu saja selamat.
Dalam hidup yang sebenarnya, kerap kali tidak semudah itu. Seorang mitra bisnis saya saat ini sedang terpuruk. Sebabnya karena ia memilih mempertahankan apa yang tampak romantis: cinta. Demi cintanya pada sang istri, ia rela kehilangan seluruh hartanya dan hidup kembali pada situasi kritis di usia lebih dari 50 tahun.
Ceritanya layak dijadikan sinetron, tapi sungguh tidak layak bila dialami langsung. Sang istri –saya tidak tahu bagaimana prosesnya- divonis dokter mengalami kanker stadium lanjut. Dan singkat cerita, mitra bisnis saya berusaha menyelamatkan nyawa istrinya bahkan hingga berobat dan operasi di luar negeri. Ternyata, entah Tuhan ada atau tidak, situasi berkata lain. Istrinya tetap meninggal. Sementara hartanya habis untuk biaya pengobatan istrinya. Dari tadinya punya dua mobil dan satu rumah cukup mewah di sebuah pemukiman elite, kini ia tidak punya apa-apa dan harus hidup menumpang di rumah adiknya. Untung saja JPS (Jaring Pengaman Sosial)-nya kuat, sehingga ia tidak perlu sampai menggelandang misalnya. Hanya saja dari tadinya pemilik perusahaan, kini ia harus kembali bekerja pada temannya. Dan dari tadinya naik mobil, kini ia harus naik bus. Mengenaskan memang. Dan saya bertekad untuk tetap mendampinginya, karena ia dulu pernah pula memberikan kepercayaan pada saya saat saya tidak punya apa-apa. Saya besarkan hatinya dan memang masih ada proyek masuk ke bisnisnya secara pribadi, walau perusahaannya hancur. Itu karena pekerjaan mitra bisnis saya itu memang pada dasarnya bagus.
See… tidak hanya kita yang punya masalah. Orang lain juga. Mungkin malah lebih besar. Dulu misalnya, saat kita lebih muda dari saat ini, putus cinta atau ditolak gebetan saja rasanya dunia sudah runtuh. Seorang wanita sahabat saya saat kuliah dulu sampai menuliskan puisi di dinding kamar kontrakannya begitu ia putus cinta. Padahal, dalam hidup banyak sekali hal yang lebih penting untuk diatasi.
Salah satunya ya itu: perut. Karena lapar tak bisa menunggu. Dalam tiga hari manusia tidak minum, ia mati. Kalau dalam seminggu hingga dua minggu tidak makan sama sekali, ya sami mawon: mati juga.
Dalam kasus mitra bisnis saya yang saya ceritakan tadi, ia mustinya bisa bertindak rasional ketimbang emosional. Saya saat ini saja, di usia semuda ini, sudah berpesan pada orang-orang terdekat saya bahwasanya –insya Allah– saya tidak takut mati. Jadi, kalau mendadak –naudzubillah min dzalik– saya divonis, baik oleh dokter maupun hakim, baik dikatakan usia anda tinggal tiga bulan atau dihukum tiga puluh tahun, saya bilang tidak usah dibebaskan. Baik dibebaskan dari penyakit maupun dari hukuman. Dulu sewaktu saya jadi aktivis mahasiswa di zaman Orba, berkali-kali saya meminta apabila saya ‘dihilangkan’, keluarga harus tidak panik. Biarkan saja.
Kepanikan itulah yang bisa membuat banyak orang ‘rela’ membayar berapa saja agar keluarganya tidak ditahan. Ini lantas jadi ladang bisnis bagi pihak yang secara hukum berwenang menahan seseorang. Untuk yang pertama, tentu ladang bisnis juga bagi yang dianggap punya kewenangan menyembuhkan seseorang.
Padahal, andaikata Tuhan ada, kita mustinya lebih takut kepada Tuhan daripada kepada penyakit atau jeruji penjara. Banyak kisah heroik baik yang terkenal maupun sekedar cerita rakyat lokal yang menjadi inspirasi hingga sekarang. Banyak orang yang memilih menderita demi mempertahankan apa yang diyakininya benar. Meski ia harus menahan sakit atau pun menderita di penjara. Dan semua itu, hanya membuat saya makin kuat. “Apa yang tak membunuhku, hanya akan membuatku makin kuat,” begitu kata Nietzsche.
Karena uang lebih berguna bagi yang hidup dan berada bebas di luar kungkungan apa pun, maka andaikata saya –naudzubillah min dzalik– mengalami sesuatu yang sifatnya vonis, saya meminta tidak dibebaskan. Untuk yang soal hukum, insya Allah saya sangat berhati-hati. Ibu saya sarjana hukum, paman saya profesor hukum, jadi saya selalu mencoba hati-hati dalam soal ini. Tapi untuk soal penyakit, siapa yang tahu selain –kalau memang ada- Tuhan?
Nah, sulitnya, kita kerap mengabaikan pola tertentu yang sebenarnya sudah tercetak sebagai ‘tanda tangan’ Tuhan di alam. Bagi yang tidak percaya Tuhan ada, anggap saja itu memang pola dasar yang ‘sudah dari sononya’ ada di alam. Pola itu adalah: selalu ada pilihan, apa pun situasi yang Anda hadapi. Kunci untuk berhasil mengatasi situasi itu adalah: tetaplah rasional, jangan kedepankan emosi atau hati, tapi bila Anda sanggup, boleh menggunakan gabungan intuisi dan rasio untuk menghadapi dan menuntaskannya. Pepatahnya: “Hati boleh panas, tapi kepala tetap dingin.” Dijamin sukses? Tidak juga. Karena pilihan Anda bisa salah, atau situasi berubah karena berubahnya variabel yang tidak bisa Anda kontrol. Tapi minimal Anda meminimalisir resiko kerugian dalam hidup. Sehingga, Anda tak perlu berhadapan dengan dinosaurus atau terjun ke jurang. Caranya, ya jangan pergi ke tempat yang ada dinosarusnya duong. Gitu aja kok repot. 🙂
wah mas kulo sampun katah ketinggalan maos postingan jenengan…
matur nuwun….
pesan moral posting diatas bagus sekali…
saya setuju inspiratif juga, jgn sampai kena gigit dinosaurus hehehehe