Siapa yang tak pernah bercermin? Meski kita tergolong kurang mampu, rasanya kita bisa bercermin dengan gratis. Baik itu di kaca etalase toko atau sekadar di genangan air. Nah, apa yang kita lihat dalam cermin?
Bayangan.
Pantulan
Refleksi.
Nah, lihat kan. Cermin senantiasa jujur. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Hanya kalau cermin itu kotor tersaput debu, kita tidak bisa melihat apa yang ditampilkannya dengan baik. Walau, sebenarnya cerminnya sih tetap menampilkan apa pun yang ada di hadapannya. Kita-lah yang tidak mampu melihatnya. Apalagi kalau cerminnya pecah, wah, ya dibuang saja. Cermin macam itu tak berguna lagi.
Dalam hidup, sebenarnya Sang Hidup tiap hari memberikan cermin bagi kita. Buat saya, cermin ada dua: yang bawaan orok dan yang nylonong di depan kita. Yang bawaan orok itu diberi nama hati. Sementara yang nlonong di depan kita katanya sih namanya pengalaman.
Keduanya merupakan cermin bagi kita.
Coba, kita tengok ke dalam dulu. Yang bawaan orok. Buat saya yang muslim, amat mengena sabda Rasulullah SAW yang berkata: “Di dalam diri manusia itu ada segumpal darah. Apabila ia baik maka baik seluruh (manusia) nya, tetapi apabila ia buruk maka buruk seluruh (manusia) nya. Itulah hati”. [HR. Bukhari]
Tentu. Bagian hati itu bukanlah hati fisik. Melainkan sebenarnya lebih tepat diterjemahkan nurani. Karena dalam bahasa Arabnya pun qalb, bukan kabid yang berarti hati yang daging alias liver itu.
Di sini, seringkali kita mengabaikan nurani karena banyak sebab. Saya contohkan hal sederhana, semoga ALLAH menjauhkan saya dari sifat ujub apalagi riya’. Hingga hari ini, bagi Anda yang berdomisili di Depok atau melewati jalan raya Lenteng Agung menuju Jakarta, akan mendapati pasca Universitas Pancasila dekat sebuah pasar (bukan jalan Joe seperti saya tulis sebelumnya karena jalan Joe ada dekat kantor DPP PDIP), di depan sebuah billiard centre, ada mobil terguling bekas terbakar. Kalau Anda pas kebetulan lewat sekitar sebulan lalu, Anda mungkin bisa melihat saya berdiri di sana, mencoba menolong sejak saat mobil itu belum terbakar. Saya melihat pengendaranya -yang bukan TNI- keluar dari mobil berplat TNI AD tersebut. Tadinya mobil itu mogok saat saya sedang melintas, dan semula saya meminggirkan mobil saya untuk membantunya mendorong karena ia sendirian dan tampak kesulitan.
Tapi ternyata, saat saya keluar, si pengemudi menghampiri saya dengan panik dan lari menjauhi mobilnya, ia berteriak-teriak “api, api!” Saya mencoba mengeluarkan alat pemadam dari mobil saya, karena memang saya lihat ada api di bawah mobilnya. Tapi terlambat, mobil itu keburu terbakar. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Nah, ternyata, dari ratusan kendaraan yang lewat, puluhan orang yang menonton, hanya saya yang mencoba menolongnya.
Whaz up beibeh?
Terlalu sibuk untuk sekedar menengok ke dalam cermin? Takut terlambat ke kantor karena memilih jadi manusia?
Makanya, saya sangat senang melihat iklan televisi Gudang Garam versi anak sekolah dalam rangka hari kemerdekaan. Ada anak SD yang sampai terlambat ikut upacara bendera karena menolong seorang ibu yang terjatuh dari sepedanya akibat ulah pengendara motor yang ugal-ugalan. Begitulah semestinya bila kita mampu bercermin.
Apa guna punya nurani? Banyak. Salah satunya, dekat dengan Sang Pencipta Nurani. Kasus mobil mogok yang kemudian jadi terbakar itu sebenarnya malah hutang saya kepada Sang Maha Nurani. Dulu, waktu saya masih pakai mobil yang lebih abal-abal daripada sekarang, di jalan mobil saya sering mogok. Dan syukur alhamdulillah tiap kali mogok, kok ya ndilalah selalu ada orang yang membantu mendorong. Alhamdulillah. Jadi, tindakan menolong orang yang mobilnya mogok dengan sekadar mendorong, sebenarnya adalah upaya saya nyaur utang saja. Tidak lebih.
Menjaga hati sebenarnya merupakan tugas kita sebagai ras manusia. Seringkali kita rumongso wis paling bener (merasa sudah paling benar), semata karena bisa ngrasani (membicarakan keburukan) orang lain. Aa’ Gym senantiasa saya jadikan contoh, karena menarik seorang yang pernah jadi panutan banyak orang tiba-tiba jadi bahan cercaan, semata karena ia memutuskan mencintai seorang wanita lagi dan memperistrinya secara sah. Padahal, para koruptor yang tidak cuma nilep uang rakyat tapi juga punya istri dan ‘istri’ -dalam tanda petik- di mana-mana tidak pernah dicerca.
Unik juga karena belum lama ini saja saya mendengar tiba-tiba dalam pembicaraan di kelas motivasi sang motivator membicarakan keburukan Aa’ Gym. Tentu saja sekaligus memelesetkan lagunya “Jagalah Hati” menjadi “Jagalah Istri”. Padahal -nah ini yang kita sering tidak sadar- apa yang kita sebut keburukan dari orang lain itu sebenarnya semata apa yang kita kira buruk dari orang lain. Belum tentu tindakan Aa’ Gym yang seolah tak bisa menjaga hati itu buruk. Kita saja yang mengiranya buruk karena tak sesuai dengan harapan atau standar nilai kita.
Itu adalah prasangka. Menurut sabda Rasulullah, sebagian dari prasangka adalah dosa. Dan prasangka kaitannya erat dengan hati nurani. Berat sekali lho menjaga hati ini. Di dalam agama saya -Islam- bahkan ada buku yang menuliskan tentang adanya 60 penyakit hati (karya Uwes al-Qorni). Tapi setelah saya daftar lagi, kok sepertinya malah lebih ya? Dan memang, cermin yang satu ini sangat sulit untuk dijaga.
(Bersambung ke hari Jum’at ya….)