Sekuel fillm The X-Files ternyata tidak seheboh yang pertama. Bisa dibilang ia tidak begitu berhasil di pasaran. Karenanya, saya tidak akan mengulasnya meski sempat menyaksikannya. Alur ceritanya masih serupa, soal misteri yang ujung-ujungnya adalah alien dan UFO. Saya sebenarnya penggemar serial thriller-misteri itu sewaktu ditayangkan di televisi. Hanya saja, saya termasuk yang kecewa saat dibuat versi layar lebarnya. Sebabnya apa? Karena dalam serial tv-nya penyebab semua kejadian aneh tersebut misterius dan tak terpecahkan. Tapi tiba-tiba begitu dilayarlebarkan misteri terungkap: semuanya karena alien dengan UFO-nya. Wah. Terlalu mudah.
Padahal, saya amat suka dengan tagline-nya: “The Truth is Out There”. Tulisan ini jelas tercetak dalam poster yang tertempel di dinding di samping meja Fox Mulder. Dulu saya ingin membeli posternya, tapi belum punya uang. Sekarang, trend-nya sudah habis, sudah pasti juga sulit mencari poster itu lagi. Sudahlah.
Yang ingin saya tuliskan kali ini pun tentang dalamnya makna “Kebenaran Ada di Luar Sana.”
Dalam kalimat tersebut bagi saya terkandung makna yang serupa dengan: “Saya yakin saya benar, tapi ada potensi kesalahan dalam kebenaran yang saya yakini.” Karena, sebenarnya kebenaran itu tidak pernah menampakkan bentuknya yang sejati. Ia selalu punya banyak versi dan persepsi.
Salah satunya adalah kebenaran sejarah. Dua hari lalu saya menuliskan tentang pengakuan seorang kakek tua bahwasanya dirinya adalah Supriyadi. Dan anehnya, ia menginternalisasikan kepalsuan alias ketidakbenaran ke dalam dirinya. Itu berarti, benar-benar ia meletakkan kebenaran di luar dirinya.
Dalam berbagai forum diskusi terutama di ranah maya, seringkali saya mendapati adanya klaim kebenaran internal tersebut. Tiap pihak saling melontarkan argumen dan mengklaim kebenaran, seraya menyalahkan kebenaran yang diyakini pihak lain. Padahal, tentu saja beragamnya latar belakang seseorang menjadi penyebab mengapa ia meyakini kebenaran yang satu seraya menolak kebenaran yang lain.
Kebenaran ada di luar sana, juga senantiasa mengingatkan kita bahwa apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, sebenarnya bukanlah kebenaran sejati. Kebenaran sejati mungkin baru tampak nanti di akhir dunia. Itu pun kalau dunia ada akhirnya. Kalau tidak, ya yang namanya kebenaran selalu punya banyak wajah bak Dasamuka. Ini sebenarnya mirip juga dengan kalimat yang banyak tercantum pada sticker yang ditempel di angkot: “Besok gratis, sekarang bayar.” Jadi, kapan gratisnya? Tidak akan pernah. Karena besok selalu jadi besok.
Bila kebenaran selalu di luar, maka yang di dalam sebenarnya adalah persepsi kita tentangnya. Kita cuma memantulkan belaka dari sudut tertentu kebenaran yang ada di luar sana. Sejatinya, di dalam diri, kita cuma berfungsi sebagai cermin dari kebenaran itu.