Seperti diduga, pendaftaran caleg kemarin menuai sejumlah masalah. Terutama dari kepengurusan ganda yang di tingkat nasional dialami PKB, sementara di tingkat daerah ternyata juga melanda sejumlah partai lain. Headline harian Media Indonesia hari ini berjudul: “Partai Politik Sulit Cari Caleg”. Padahal, sebenarnya tidak sulit. Yang sulit adalah mengendalikan ego penguasa parpol itu sendiri.
Dari daftar caleg yang diserahkan ke KPU kemarin, kita bisa melihat ego itu. Sejumlah kerabat dekat penguasa parpol duduk sebagai caleg. Apalagi, jelas ada kader berusia muda yang tidak pernah ketahuan kiprahnya di masyarakat. Siapa lagi mereka kalau bukan anak dari petinggi parpol?
Melihat fenomena ini, LifeLearner yang sudah cukup dewasa saat Orde Baru berkuasa pasti masih ingat, sebenarnya praktek macam ini sudah berlangsung lama. Kebiasaan sebagian unsur masyarakat untuk menambahkan nama suami atau ayahnya di belakang namanya sendiri -walau bukan nama keluarga, marga atau fam- memudahkan kita melacak hubungan kekerabatan mereka.
Saya pernah menulis, saya setuju pada nepotisme. Tapi bukan nepotisme macam ini. Nepotisme yang saya setujui adalah yang berdasarkan kapabilitas. Kehandalan keluarga B.J. Habibie misalnya, merupakan nepotisme yang saya bisa terima. Bapak dan anak sama-sama doktor yang kompeten di bidangnya. Wajar bila bapaknya kemudian mempercayakan anaknya memegang jabatan tertentu. Walau tetap saja, seharusnya untuk jabatan publik semuanya dilakukan secara terbuka dan transparan.
Namun ini, praktek pencalegan benar-benar mempertontonkan nepotisme kampungan tempo doeloe. Putra-putri petinggi partai enak saja didudukkan sebagai caleg, nomor jadi lagi. Padahal, jelas mereka tidak pernah berkiprah seterang aktivis parpol lainnya. Menurut hemat saya, hanya Yenny Wahid putri petinggi parpol yang cukup kompeten untuk dicalonkan oleh PKB. Sayangnya, pemerintah ternyata kembali mempraktekkan devide et impera ala Orde Baru. Anda pasti masih ingat, di masa Soeharto PDI-lah yang menjadi korban pemerintah. Kini, PDI yang tidak diakui pemerintah malah jadi besar dan bermetamorfosis menjadi PDIP, sementara PDI versi resmi rezim Orba malah hancur berantakan. Kini, nasib PDI itu menimpa PKB. Pihak yang berseberangan dengan pemerintah justru dihancurkan. Suatu taktik yang mengerikan dan bukan tidak mungkin terulang menimpa parpol lain.
Untuk soal PKB ini, analisanya memang tidak mudah. Setiap penguasa pasti melakukan mapping atau pemetaan situasi, ia menganalisa kawan dan lawan. Dan terbukti, Gus Dur rupanya dianggap lawan pemerintah, sementara Muhaimin dianggap kawan. Apalagi konflik terjadi menjelang Pemilu, maka sekalian saja didorong agar pecah. Di Indonesia, tidak sulit mendorong pihak yang ingin berkuasa untuk maju merebut kekuasaan.
Dalam AD/ART PKB, kekuasaan Dewan Syuro rupanya begitu besar. Sayangnya kekuasaan besar ini lantas tidak disikapi dengan bijak. Sudah dua kali ketua umum partai –yang dalam istilah PKB disebut Ketua Umum Dewan Tanfidz- digusur Dewan Syuro dengan cara serupa, di luar mekanisme muktamar. Dan karena sudah dua kali pula pihak Gus Dur yang menguasai Dewan Syuro memenangkan perkara yang kemudian dibawa ketua umum terguling lewat pengadilan, untuk kali ketiga ini pun mereka pe-de. Tapi rupanya, kali ini konstelasinya telah berubah. Pihak Gus Dur kalah. Dan akibatnya, kekisruhan terulang. Tentu saja, yang rugi adalah PKB sendiri. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Sayang sekali.