Haree genee, masih mau jadi politikus?
Ternyata, jadi politikus masih menarik. Adalah kawan lama saya Indra Jaya Piliang yang hari ini rencananya mendeklarasikan diri sebagai politikus, sebagai transformasi dari ‘positioning lama’-nya sebagai pengamat. Agak bingung, apa perlu mendeklarasikan diri jadi politikus? Mungkin ini strategi ‘personal brand selling’-nya Indra.
Well, sekilas soal Indra. Dia ini teman saya di UI, sama-sama aktivis, hanya -kalau tidak salah- dua tahun lebih tua. Buat yang minat politik, pasti cukup sering baca tulisan atau wawancara peneliti CSIS ini di media massa. Sejak mahasiswa yang bersangkutan memang sudah ‘jatuh hati’ kepada dunia politik. Tulisan-tulisannya pun sering dititipkan ke saya yang waktu itu bekerja di Tabloid SWADESI. Karena memang bagus, maka seringkali dimuat. Sebagai orang rantau, Indra tergolong ulet. Ia sempat memegang jabatan Sekjen IKAHIMSI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia) sewaktu kuliah dan sama-sama pula aktif di pers kampus seperti saya. Cuma, jalan kami beda. Beliau sudah terkenal sekarang, bahkan tampaknya akan makin terkenal dengan mendeklarasikan ‘the new positioning’ sebagai politikus. Sementara, saya ya masih begini-begini saja. Hehehe…
Oke. Sekian soal Indra. Kalau ada yang mau kenal lebih jauh, silahkan bertemu sendiri hari ini jam 9-12 di aula Universitas Paramadina Jl. Gatot Subroto 97. Saya juga insya Allah datang, semoga beliau masih kenal saya yang fakir ini.
Sekarang saya mau ngobrol soal politikus. Beberapa pekan lalu, saat demam Piala Eropa, saya sempat membaca komentar seorang suporter di sana. Ia sempat ditanya soal politik oleh wartawan Indonesia. Jawabannya? “Politik? Ah, lupakan saja. Itu dunia yang tidak riil, dunia para pengangguran. Lebih baik lupakan politik, lihat saja yang real seperti sepakbola.”
Kebetulan, saya sempat menonton final Piala Eropa 2008 di sebuah cafe bersama seorang rekan wanita asal Jerman. Dari ngobrol-ngobrol itu, saya juga tahu politik tak begitu diminati di negaranya. Mungkin ini tidak bisa jadi ukuran. Tapi minimnya antusiasme rakyat negara maju terhadap politik terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi saat Pemilu. Rata-rata di bawah 50 %. Artinya, justru sebagian besar rakyat memilih untuk tidak memilih. Di sini, hal itu diistilahkan dengan “golput”. Buat yang lahir pada era 90-an, mungkin tidak tahu ini adalah kepanjangan “golongan putih”, sebagai pelesetan dari Golkar “Golongan Karya”. Di masa Orde Baru, memilih adalah ‘kewajiban’. Tak heran tingkat partisipasinya selalu di atas 90 %. Golput dianggap semacam ‘aliran sesat’.
Bahkan hingga kini, masih ada anggapan seperti itu. Seorang tokoh politik yang pernah jadi presiden juga mengatakan hal senada. Padahal, jika ia mengerti apa itu demokrasi, maka itu adalah soal menggunakan hak sebagai warga negara. Tidak memilih dalam Pemilu adalah hak. Bukankah hak itu bisa dipakai, tapi juga bisa tidak? Kalau harus dipakai, itu namanya kewajiban.
Anyway, jadi politikus berarti harus siap dipilih. Tapi juga harus siap untuk tidak dipilih. Seperti tulisan saya kemarin, jangan sampai cuma siap menang, tapi tak siap kalah. Dan yang paling mengerikan dari jadi politikus adalah, ancaman terhadap diri dan keluarga akan langsung. Di negara-negara ‘panas’ seperti India atau Pakistan, pembunuhan terhadap politisi itu biasa. Di Indonesia, sebagai contoh saja, dahulu seorang ketua cabang partai ayah saya rumahnya sempat diteror dengan dilempari sekarung kotoran manusia gara-gara ia menentang kuningisasi di masa Orde Baru. Yang bersangkutan lantas meminta perlindungan ke Jakarta. Macam itulah teror kotor politik yang jarang terungkap di media. Tentu masih banyak yang lain.
Masalahnya, banyak politikus yang mau menang sendiri. Apalagi sudah habis ongkos kampanye, begitu terpilih jadi pejabat publik lantas ‘kejar setoran’ supaya ‘balik modal’. Dan ia bukan cuma lupa pada janji kampanyenya, tapi juga lupa bahwa jabatan yang diembannya adalah kepercayaan rakyat. Karena rakyat terlalu sibuk dengan mata pencahariannya, maka dibuatlah kontrak sosial ala Jean Jacques Rousseau agar ada yang mengurus hajat hidup orang banyak. Salah satu pengurus hajat hidup itu ya pejabat publik. Nah, kalau pengurus yang dipercaya dengan kontrak sosial itu tidak amanah, ya wajar kalau orang lantas jadi golput tho?
apakah anak SUMA yang satu ini akan benar benar berkibar? mmm…menarik untuk disimak pemilu besok kalau begitu….sukses deh.