Inilah tokoh yang dipuja banyak orang, tapi dilupakan oleh lebih banyak orang lagi. Para motivator kita lebih senang menyanjung Kiyosaki, Peale, atau malah dirinya sendiri. 🙂 Para ahli manajemen lebih gaya bila meminjam studi kasus Ford, Trump, atau Toyota. Sementara ahli sejarah Indonesia lebih memilih memelototi Soekarno, Hatta, atau malah Soeharto.
Siapa yang tahu Mohammad Natsir?
Semoga di antara pembaca blog ini justru saya saja yang paling tidak tahu. Saya baru tahu kalau pada 17 Juli 1908 dia lahir. Yang berarti kemarin ia genap 100 tahun, andaikata masih hidup. Namun, Natsir telah berpulang pada 6 Februari 1993. Lima belas tahun lalu, berarti saat usianya 85 tahun.
Sepanjang hidupnya, yang diingat orang dari tokoh ini ada tiga hal: keteguhan prinsipnya, kesederhanaannya, dan kepiawaiannya mengelola hubungan baik. Ciri khas seorang negarawan.
Mohammad Natsir adalah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal luas sebagai seorang yang multi-talent dan berwawasan luas. Pemikirannya dekat dengan demokrasi barat, namun ke-Islamannya kental. Ia mendirikan Masyumi sebagai partai Islam yang keras melawan komunisme, tapi menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh PKI.
Keteguhannya menjaga prinsip dan integritas membela rakyat membuatnya dipenjarakan oleh Orde Lama dan dimatikan secara perdata oleh Orde Baru. Padahal, jasanya pada republik ini tak sedikit. Ia pernah menjadi menteri penerangan bahkan perdana menteri era Soekarno. Di masa Soeharto ia tetap aktif berorganisasi dan bermasyarakat, hanya saja konsentrasinya lebih pada agama. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) adalah salah satu lembaga besutannya setelah upayanya mendirikan kembali Masyumi yang dibekukan Soekarno tetap ditolak Soeharto.
Terlalu panjang mengulas perjuangan Natsir di sini. Apalagi buku sejarah buatan Orde Baru mendudukkannya lebih sebagai seorang pemberontak. Ini karena Natsir sempat terlibat PRRI/Permesta di masa Orde Lama dan ikut menandatangani Petisi 50 di masa Orde Baru. Toh keteguhan sikapnya itu sebenarnya adalah untuk membela rakyat dari ketamakan pemimpinnya. Terbukti, hingga akhir hayatnya ia tak pernah punya uang cukup. Begitu sederhananya hingga peneliti dari Universitas Cornell, George Mc.Turnan Kahin sempat terkejut saat bertemu Natsir di tahun 1946. Natsir yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Penerangan menemuinya dengan memakai jas bertambal. Dan kesederhanaan, prinsip hidup, serta integritas itulah yang dibawanya hingga wafat. Andaikan Indonesia punya 100 Natsir, tentu tak akan ada kasus heboh seperti masalah BLBI Urip dan Ayin…
Ping-balik: Profil Mohammad Natsir « Whayudha’s Weblog·