Mahasiswa Universitas Nasional Jakarta bentrok dengan polisi Sabtu (24/5) malam lalu. Mahasiswa UKI juga nyaris bentrok karena menutup jalan Senen (26/5) malam dan baru dibersihkan Selasa (27/5) pagi. Hari ini, Selasa (27/5) dikabarkan mahasiswa Universitas Prof.Dr. Moestopo (Beragama) juga melakukan demo dengan menutup jalan di depan kampusnya. Semua demo itu dilakukan untuk memprotes kenaikan harga BBM.
Sebenarnya, apa sih yang ada di pikiran mereka yang bentrok? Saya pernah terlibat bentrok dengan aparat. Baik sebagai mahasiswa maupun sebagai fotografer lapangan. Semuanya membekas. Dan apa yang saya lihat merupakan sebuah ‘pengkondisian’ belaka. Aparat dikondisikan agar ‘beringas’, antara lain dengan cara memperlambat datangnya ransum. Juga adanya doktrin bahwa setiap demonstran adalah ‘penganggu ketertiban umum’, dengan demikian adalah ‘musuh negara’. Karena aparat adalah penjaga negara, maka berhak dan sah-sah saja menindak demonstran dengan keras.
Sementara di pihak demonstran pun sami mawon. Mereka merasa membela rakyat. Vox Populli Vox Dei katanya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Karena itu harus didengarkan. Siapa yang tidak mau mendengarkan Tuhan berarti setan atau anak buah setan. Jadi tak salah bila dilawan. Apalagi katanya “rakyat bersatu tak bisa dikalahkan”.
Oke deh.
Semua merasa benar. Semua tidak ada yang salah. Di saat bentrok, yang namanya kecerdasan emosional pasti sudah setara dengan kecerdasannya kutu. Betul. Kutu yang tak jarang ada di kepala manusia tapi tak ketularan pintar itu. Begitulah saat bentrok. Semua yang terlibat sudah tak lagi jadi manusia.
Ping-balik: Memahami Anarkisme Untuk Wartawan « HMI Komisariat Fakultas Hukum UNS·