Saya jelas tidak mengenal keduanya. Kedua beliau yang baru saja menghadap Tuhan usia maupun kedudukan sosialnya jauh di atas saya. Namun, dalam beberapa kali kesempatan saya sempat bertemu. Terutama dahulu saat bertugas sebagai reporter lapangan. Saya pernah diberi kesempatan melakukan wawancara dengan Bang Ali, sekitar tahun 1995. Bahkan Bang Ali memberikan khusus pada media kami sebuah fotonya yang amat jarang dipublikasikan. Foto itu menunjukkan Bang Ali bergaya mengenakan jaket kulit.
Saya agak lupa isi pembicaraan waktu itu. Yang jelas, kami juga menyinggung mengenai kekuasaan Soeharto dan Orde Baru yang waktu itu sedang kuat-kuatnya. Indonesia yang sedang merayakan ulang tahun emas ke-50 dirayakan Orde Baru dengan menggelar pesta di Monas. Jauh lebih akbar dibanding peringatan ke-100 Kebangkitan Nasional yang digelar pemerintahan SBY kemarin. Bang Ali walau dikenai ‘kematian perdata’ tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru, toh tak menyurutkannya bersuara lantang.
Mengenai S.K. Trimurti, karena ayah saya cukup mengenal dekat beliau sebagai sesama “Soekarnois”, saya lebih sering bertemu beliau di berbagai acara kaum nasionalis yang dihadiri ayah saya. Sebagai anaknya, saya yang dari kecil sering diajak ‘berpolitik’ pun sering ikut. Tapi saya tidak pernah punya kesempatan bicara pribadi dengan beliau. Selain karena masih terlalu ‘hijau’, juga kondisi beliau yang sudah sepuh.
Dari kedua orang itu saya bisa menarik satu hal tegas: keduanya penuh integritas dan kredibilitas. Ini beda dengan orang-orang yang hobi memfitnah, tidak peduli orang lain, dan senang pada kesulitan orang lain. Itulah tabiat lawan-lawan mereka. Meski menanggung resiko bahkan dihancurkan nama baiknya, mereka tetap teguh pada keyakinannya. Dan sejarah membuktikan, orang-orang semacam inilah yang tetap harum namanya hingga Tuhan memanggilnya. Semoga kita bisa mencontoh keteladanan mereka.