Ada ungkapan yang seringkali dipakai, sehingga orang melupakan sumber aslinya. Seperti ungkapan “fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” Itu sebenarnya merupakan ungkapan yang diambil dari ayat Al-Qur’an (Qs 2:191). Dan seringkali di ‘zaman edan’ ini orang tidak peduli lagi pada petuah-petuah bijak. Apalagi kalau itu dari kitab suci agama lain. Buat saya, bijak ya bijak. Tidak peduli siapa yang mengatakan. Saya berprinsip, “dengarkan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.” Kebetulan, kali ini berasal dari kitab suci agama saya sendiri.
Maka, saya ingin mengangkat hal ini. Beberapa bulan terakhir, saya kena fitnah. Tidak terlalu besar buat saya, karena sudah beberapa kali kena dan ada yang lebih besar daripada yang ini. Tapi itu cukup membuat seorang yang dekat dengan saya kelimpungan. Sebabnya, fitnah yang menimpanya lebih kejam daripada yang kepada saya. Dan ia yang dikenal sebagai anak baik-baik biasanya menghindar dari masalah, tapi sekarang rupanya ia terjebak pada situasi ‘no turning point’.
Saya membantunya, tentu saja. Bahkan bantuan saya ‘extra-ordinary’. Hanya saja, lawan orang dekat saya itu terus-menerus melakukan ‘character assassination’ terus menerus. Padahal, ia sudah ‘mengalah untuk menang.’ Karena masalahnya berkaitan dengan pekerjaan, maka ia memutuskan mengundurkan diri. Tapi orang-orang jahat itu terus-menerus mengejar. Bahkan menyebarkan fitnah tanpa henti. Antara lain fitnah yang beredar adalah orang dekat saya itu sekarang luntang-lantung. Hahaha. Alangkah piciknya!
Tidak mungkin-lah saya membiarkan dia begitu. Bagi yang kenal saya langsung, ada yang bilang gaya saya seperti Jusuf Kalla, pasang badan untuk orang-orang di sekitarnya. Lagipula, saya juga orang politik. Gaya kampungan, ndeso, dan ingusan seperti dimainkan lawan-lawan orang dekat saya itu bukanlah tandingan saya. Orang dekat saya itu dalam kenyataannya justru berlawanan kondisinya dengan fitnah orang-orang jahat itu. Sebelum mengundurkan diri, ia sudah mendapatkan pekerjaan dengan jabatan, gaji, dan tentunya lingkungan kerja yang jauh lebih baik. Dan yang lebih penting, rekan kerja yang lebih tulus dan baik hatinya. Alhamdulillah. Puji Tuhan.
Saya yang tadinya mau mengampuni mereka karena kebodohannya, seperti tindakan Nabi kami saat dilempari batu oleh penduduk Mekkah, malah jadi ingin membalikkan gunung seperti yang ditawarkan Jibril a.s. Orang-orang jahat dan bodoh itu tidak tahu kemampuan saya ‘membalikkan gunung’, apalagi melawan orang selemah mereka. Mereka itu seperti Geertz Wilder, si pembuat film fitnah. Ingin menjelekkan Islam dan muslim, malah nama dan reputasinya sendiri yang jadi buruk. Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Itulah balasan paling ringan bagi pembuat dan penyebar fitnah. Naudzubillah min dzalik.