Hari Jum’at (2/5) lalu di sejumlah ruas jalan diadakan razia mendadak oleh Dishub dan Polda Metro Jaya. Mereka merazia sejumlah kendaraan yang parkir sembarangan. Tak kurang dari 185 kendaraan ditilang hari itu. Ini sebenarnya adalah pelaksanaan dari UU No.14/1992, yang lucunya baru dilaksanakan sekarang. Saya sendiri sempat melihat pelaksanaannya di sekitar jalan Pemuda yang dengan heboh diliput media elektronik. Karena keterbatasan alat dan petugas, memang baru di beberapa ruas jalan saja razia itu dilakukan. Sehingga tak heran muncul tudingan petugas ‘tebang pilih’, apalagi dari warga yang sial terkena razia.
Saya pernah membaca dalam rubrik liputan khusus yang jadi sisipan majalah Tempo era sebelum dibreidel (maaf saya lupa tahunnya), bahwa parkir di Jakarta menghasilkan tak kurang dari 4 milyar per hari. Itu adalah di masa tahun 1980-an dimana parkir mobil saat itu cuma Rp 200 dan motor Rp 100. Apalagi sekarang, yang sudah mencapai Rp 2.000,00 untuk mobil dan Rp 1.000,00 untuk motor per jamnya? Dengan logika sederhana, dengan kelipatan 10 untuk tarif parkir, berarti 40 milyar per hari. Ini berarti parkir sudah jadi ladang bisnis menggiurkan.
Celakanya, menurut liputan tersebut, parkir tidaklah murni menjadi pemasukan Pemda DKI. Melainkan, dibagi-bagi sebagai ‘jatah preman’. Ada sejumlah organisasi kepemudaan yang ‘ambil bagian’, selain kelompok preman berdasarkan suku. Ini merupakan hal yang saya yakin masih berlanjut hingga sekarang.
Semoga saja upaya menertibkan parkir itu tidak semata proyek belaka. Karena dengan pengadaan pengunci roda khusus dan kemungkinan penambahan mobil derek, jelas sudah merupakan nilai nominal pengadaan barang dalam APBD. Kita ingat, saat ini proses pengadaan mobil pemadam kebakaran di era Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno masih dalam penyidikan KPK. Belum lagi kemungkinan pungli karena aparat ‘bermain mata’ dengan pelanggar. Semoga saja penertiban parkir ini ‘bersih’ dan benar-benar demi melancarkan arus lalu-lintas.