Kata “peduli” bagi sebagian orang kini mungkin sudah jadi komoditi. Apalagi dengan gencarnya CSR (Corporate Social Responsibility) yang malah sudah diundangkan. Ketika kata “peduli” dilontarkan, umumnya masyarakat perkotaan akan mengkaitkannya dengan program-program sosial-kemasyarakatan. Mulai dari bakti sosial, bagi-bagi sembako, buka puasa bareng, atau semacamnya. Padahal, peduli itu sebenarnya bermula dari rasa empati pada orang lain. Rasa ikut mengalami problema orang lain.
Dalam kehidupan nyata, sebenarnya peduli itu hanya dimiliki oleh orang-orang terdekat kita. Kalaupun ada para filantropis yang peduli pada sesamanya, itu merupakan pengecualian langka. Pertanyaan sebaliknya bisa kita tanyakan, kalau sang filantrop mengalami masalah, apakah orang-orang yang ditolongnya peduli? Peduli ala filantropis itu pun biasanya berjarak karena dibatasi oleh program yang punya batas waktu.
Nah, kepedulian orang terdekat kita itulah yang tanpa batas dan sekat apa pun. Lihat saja tayangan televisi kita, siapa peduli pada orang yang terkena sangkaan korupsi atau narkoba selain kerabat terdekatnya? Teman-teman mungkin bisa menjenguk, tapi siapa yang setia menemani dan menjaga selama orang tersebut dalam penjara? Hanya keluarga dan sahabat. Teman-teman malah ramai-ramai lari, apalagi kroni dan kolega kerja atau bisnis. Tak ada yang mau ikut ‘kecipratan sial’.
Rekan ayah saya yang mantan Dirjen di sebuah departemen misalnya, terkena sangkaan korupsi KPK. Tak ada yang mau menemaninya, bahkan pegawainya pun ikut-ikutan keluar. Padahal, asas praduga tak bersalah seharusnya ditegakkan. Ia bingung karena merasa dikorbankan sementara sang menteri yang memerintahkannya malah selamat. Dan saya mencontoh ayah saya yang terus mendampinginya sebagai teman, malah mungkin sahabat. Ayah saya tak takut karena memang ia tak pernah jadi pegawai negeri, apalagi korupsi.
Di hari Senin ini, setelah kemarin beristirahat, saya justru teringat pada keluarga. Mereka yang membela saya di saat susah, tapi justru terlupakan di saat jaya. Orangtua dan saudara, yang terkadang ada perbedaan tapi tak pernah pamrih menolong saat semua meninggalkan. Maka bila mencari istri kelak, saya mendambakan gabungan figur Lady Diana, Wan Azizah Wan Ismail dan Hillary Clinton. Minimal, ia peduli dan berjuang untuk kesulitan saya. Dan sebaliknya, saya pun pasti berjuang untuk kebahagiaan hidupnya.