Artikel Penulis

GLOBALISASI DAN GLOBAL WARMING

Oleh: Bhayu Mahendra H.

Dunia makin menyempit. Jarak diperpendek. Waktu dipersingkat. Teknologi seakan telah memampatkan segalanya. Manusia seolah berada di ambang pencapaian kemanusiaannya. Akan tetapi, semua itu ternyata telah menyebabkan bumi kita merana. 

Efek Globalisasi

Globalisasi bak pisau bermata dua: dapat menyembuhkan dan membunuh sekaligus. Tumbuhnya industri dan ekstensifikasi penggunaan bahan bakar fosil telah memicu polusi luar biasa. Adalah fakta bahwa lapisan ozon di atas Antartika telah berlubang dan makin membesar. 

Bahkan secara mengejutkan, sebongkah es sebesar 414,4 kilometer persegi di Antartika telah longsor pada hari Rabu (26/3) kemarin. Padahal, ia merupakan bagian dari beting es Wilkins yang diperkirakan telah berada permanen di sana paling tidak sejak 1.500 tahun lalu. David Vaughan dari British Antarctic Survey menyatakan bahwa ini jelas merupakan dampak dari pemanasan global.

Sayangnya masih ada pandangan bahwa alam mampu memulihkan dirinya sendiri. Julian L. Simon dan Herman Kahn dalam bukunya The Resourceful Earth (1984)  misalnya, mengatakan bahwa pemanasan global tidak akan terjadi. Argumennya adalah itu semata fenomena alam dan bukan karena aktivitas manusia. Ia menganggap alam mempunyai sifat-sifat pemulihan yang jauh melampaui dampak yang diciptakan oleh manusia terhadap lingkungannya.

Namun banyak yang tidak setuju termasuk Anthony Giddens. Dalam bukunya The Third Way (1998) -sembari menyitir pendapat Simon- ia menyatakan pandangan semacam itu amat berbahaya. Menurutnya, tujuan umum politik jalan ketiga yang ditawarkannya adalah membantu masyarakat merintis jalannya melalui revolusi utama. Salah satunya adalah hubungan kita dengan alam. Ia menyarankan modernisasi ekologis, artinya kita memodernisasi tatanan global sembari memperhatikan ekologi.

Thomas L. Friedman dalam bukunya The Lexus and The Olive Tree: Understanding Globalization (1999:298-299) bahkan mengambil Bali sebagai contoh ketidakpedulian negara dunia ketiga akan isu ekologis. Ia mengatakan eksploitasi berlebihan atas pariwisata Bali akan berdampak serius terhadap lingkungan. Misalnya saja dibiarkannya pembangunan fasilitas pariwisata di sekitar pantai. Ia mengkuatirkan, satu saat kombinasi ketidakpedulian itu akan menyebabkan hancurnya alam dan budaya Bali. Itu menurutnya efek dari globalisasi. Andaikata saat itu sudah ada tragedi Lumpur Lapindo, bisa jadi Friedman pun akan membahasnya panjang lebar.  

Ayo, Bertindak!

Sebenarnya, baik globalisasi maupun global warming merupakan hal yang asyik dan trendy untuk dibicarakan. Sebuah toko penjual buku berbahasa Inggris di Jakarta menggunakan tema ini untuk promosi di bulan Maret 2008. Café-café dan tempat hiburan pun kerap menggunakan isu peduli lingkungan untuk berpromosi. Apa artinya?

Ini menandakan sebenarnya isyu ini tidak sulit untuk dimasyarakatkan. Kepedulian kalangan menengah dan berpendidikan cukup tinggi untuk isu ekologi. Sayangnya, pemerintah kita yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup seakan tidak memanfaatkan momentum.

Ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah UNFCCC 3-15 Desember 2007 di Bali masih belum ditindaklanjuti secara konkret. Peta jalan Bali yang komprehensif ternyata malah disambut dengan penerbitan PP No. 2/2008. Ini menunjukkan kekerdilan pola pikir birokrat kita.

Padahal, bila pemerintah Indonesia mau bekerja giat, hutan kita bisa ‘dijual’ tanpa merusaknya. Caranya justru dengan memeliharanya untuk kemudian dimintakan bantuan dalam skema CDM (Clean Development Mechanism) dari negara maju yang tergabung dalam Annex-1.

Cara tidak langsung untuk mendapatkan penghasilan dari hutan kita bisa juga dengan menggalakkan pariwisata ekologis atau ekowisata. Negara kita yang sangat kaya flora dan fauna amat minim perhatiannya pada taman nasional. Taman Nasional Gunung Leuser saja akan dibelah jalan Ladia Galaska. Padahal di negara-negara maju, taman nasional dan kawasan perlindungan alam ‘haram’ hukumnya untuk dibangun. Dan jelas jadi lokasi wisata yang amat diminati.

Demikian pula pendidikan peduli lingkungan sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Bila sulit, pemerintah harus terbuka pada pihak non-pemerintah yang hendak memberikan penyadaran ke berbagai lapisan.

Kerjasama dengan dunia bisnis sebenarnya bisa dicapai justru dengan bisnis yang tidak terkait langsung dengan hutan. Seperti saya utarakan di atas, isu lingkungan cukup ‘seksi’ untuk dijadikan gaya hidup. Merangkul pemain industri gaya hidup efektif menggalang opini publik. Misalnya dengan kampanye below the line dan event menarik.

Pendeknya, tidak ada waktu untuk berdiam diri. Jangan sampai kita baru sadar saat kondisi bumi sudah dilanda banjir bandang dahsyat karena es kutub mencair. Laiknya digambarkan dengan mengerikan dalam film The Day After Tommorow. Ayo, bertindak!

2 responses to “Artikel Penulis

  1. Kalau Friedman gak sempat, mas Bhayu aja klo gitu yg mbahas kasus Lapindo secara panjang lebar.

    Kalo hubungannya dg isu global warming, sy kok punya pandangan klo masalah lumpur lapindo, sebenarnya sangat relevan dg isu global warming. Kenapa?

    Masalah pokok dr global warming adalah pada keserakahan manusia dlm menggunakan carbon fuel. Nah, selama ini, upaya mengurangi atau mempermasalahkan global warming selalu dilakukan pada aspek konsumsi, yaitu end user-nya. Padahal, pada proses produksinya, ternyata banyak sekali masalah yg timbul, dan harusnya jg diperhatikan dg serius.

    Selama ini orang tidak terlalu memperhatikan good governance dlm proses eksplorasi dan eksploitasi karena berpikir, yg penting dpt migas sebanyak2nya. Akhirnya, ketika cadangan migas tersebut adanya di tengah pemukiman, ya sikat aja. Peduli setan dengan resikonya.

    Kasus Lapindo inilah kemudian yg terjadi. Dan yg menarik, sebagian besar cadangan migas yg ditemukan di Indonesia dlm kurun 5 tahun terakhir selalu adanya di daerah yang padat penduduk seperti di Sidoarjo ini. Maka, tanpa upaya untuk belajar dg sungguh2 dari kesalahan di Sidoarjo ini, kita sama aja dengan menyemai angin.

    Salam keprihatinan dari Sidoarjo,

    korbanlapindo

  2. GLOBALISASI DAN GLOBAL WARMING, tulisan Mas Bayu sederhana dan memberi pembelajaran bagi setiap pembaca termaksud saya. Maju terus dalam ukiran kata jadilah penulis yang handal.harun dethan motivator.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s