Hari Minggu kerap dimanfaatkan untuk mengunjungi sanak keluarga. Namun saya melihat ada perubahan karakter dari keluarga Indonesia saat ini. Dari tingkat ekonomi, saya melihat adanya perbedaan antara kelompok menengah di kawasan sub-urban dengan di perkotaan. Apabila kelompok menengah apalagi yang berusia muda tinggal di kawasan sub-urban, sebenarnya itu karena ketidakmampuan membeli properti di perkotaan. Maka, rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga inti masih cukup lekat. Walau begitu, hubungan dengan keluarga batih (di luar ayah, ibu, dan anak) sudah agak renggang. Hal ini karena umumnya mereka tinggal relatif lebih jauh sehingga yang diutamakan adalah silaturahmi dengan keluarga inti. Sementara yang tinggal di perkotaan umumnya memilih untuk berekreasi sendiri dengan keluarga intinya.
Sebenarnya, tiap orang yang sudah berkeluarga punya tiga keluarga inti. Keluarga dimana dia sebagai anak, menantu, dan sebagai orangtua dari anak-anaknya. Maka, biasanya kepada keluarga inti inilah dedikasi seseorang dilimpahkan.
Dari beberapa kali mengamati pesta pernikahan orang Indonesia di perkotaan yang sebenarnya cuma bagi-bagi makanan itu, saya melihat nilai-nilai kekeluargaannya sudah merenggang. Sementara di kawasan sub-urban justru lebih lekat. Saat saya menghadiri perhelatan nikah di kampung dekat tempat tinggal saya, ada tradisi meja panjang -dimana semua yang hadir makan bersama-sama- ternyata masih dipertahankan. Dapat diduga pula bahwa orang sekampung itu ternyata masih saling bersilang kerabat. Dan senangnya saya pun dianggap kerabat mereka. Rasanya hangat sekali punya ‘keluarga baru’.
Bagi orang kota, keluarga kerap kali dinomorduakan. Apalagi di tengah tuntutan bisnis atau pekerjaan, kerapkali janji temu dengan keluarga tidak dijadikan prioritas. Herannya, saya beberapa kali bertemu dengan orang-orang supersibuk yang justru memasukkan jadwal keluarga atau pribadinya sebagai agenda bisnis atau kerjanya. Misalnya saja Aburizal Bakrie -Menko Kesra yang konglomerat pemilik Bakrie Group- yang hampir tiap pagi menyempatkan diri bermain tenis di lapangan tenis Klub Rasuna. Atau Haidar Bagir -filsuf cum konglomerat pemilik kelompok usaha Mizan- yang tiap Selasa malam main badminton dengan anaknya.
Saya pun mencoba meniru dengan menjadikan hari-hari tertentu sebagai prioritas utama bagi orang-orang yang saya cintai. Karena sesungguhnya hanya keluarga yang menerima kita apa adanya. Bahkan saat kita dimusuhi dan dicerca orang lain, keluarga senantiasa membuka pintunya bagi kita.