Menakjubkan! Amazing! Itu kesan yang saya dapat saat menonontn film ini. Di era CGI (Computer Graphic Imagery) dalam dunia perfilman modern dewasa ini, rasanya sulit untuk mendapatkan sensasi menonton film yang orisinal lagi. Ada sejumlah tonggak pencapaian Hollywood dalam efek visual dunia perfilman, dan dua di antaranya justru dipatok oleh Independence Day (1996) atau lebih beken disebut ID 4 dan The Day After Tommorow (2004). Kerennya, dua film tersebut adalah besutan terdahulu sutradara (director) film 10,000 BC ini!
Roland Emmerich berhasil membawa penonton filmnya ke situasi di zaman pra-sejarah, 10.000 tahun sebelum Masehi. Penggambaran efek visualnya luar biasa dan nyaris seperti film dokumenternya Discovery Channel atau National Geographic. Saya nyaris lupa ini semata film fiksi dan di zaman itu tentu saja belum ada kamera dong. Jadi pastinya mustahil ada film dokumenternya.
Ceritanya sendiri sederhana, dengan diklaim berdasar pada “legenda anak bermata biru” yang terlupakan, teater film ini mengambil tempat di Afrika. Konon, di benua inilah peradaban kita semua berasal. Dikisahkan, adanya ramalan di suku Yagahl akan munculnya seorang pahlawan atau pejuang (warrior) di masa depan. Hal itu terjadi pasca suku itu kedatangan seorang anak perempuan bermata biru yang tertatih-tatih menyelamatkan diri setelah seluruh klannya dibantai “setan berkaki empat”. Anak bermata biru inilah yang kelak akan menjadi jodoh dari pahlawan masa datang yang diramalkan. Kisah berputar pada perebutan pengaruh antara dua orang pemuda untuk menjadi yang dinanti tersebut. Dan bonusnya, tentu saja hak untuk mempersunting si anak bermata biru yang di kemudian hari tumbuh menjadi gadis cantik.
Ada adegan pertempuran, ada pameran efek visual canggih ala Jurrasic Park untuk menghidupkan kembali suasana zaman pra-sejarah itu, ada jalan cerita yang kuat. Film ini punya hampir semua hal untuk sukses. Namun tetap saja ada kelemahannya. Saya mengernyitkan dahi melihat detail yang ditampilkan.
Masa 10.000 tahun sebelum Masehi dalam catatan sejarah arkeologis adalah zaman yang disebut zaman es atau ice age. Namun dalam film, terlihat sekali kalau justru benua Afrika sudah jadi gersang dan berpadang pasir. Padahal, menurut penelitian para ahli lintas-ilmu (sejarah,arkeologi,botani,biologi,fisika,geologi), dulunya gurun Sahara adalah lautan. Dan masa yang paling pas untuk penggambaran lautan di Afrika itu ya di zaman es dong. Menurut saya, trilogi film kartun Ice Age (2002,2006,2008) justru lebih akurat menggambarkan keadaan bumi di masa itu.
Belum lagi melihat peralatan yang digunakan jelas mendahului masanya. Ini termasuk aneka peralatan besi yang digunakan secara ekstensif. Sekedar informasi, penggunaan besi oleh manusia baru pada tahun 1.200 SM di zaman besi atau iron age. Penggambaran suku Yagahl yang primitif bertemu dengan bangsa Mesir Kuno yang sedang membangun piramid pun patut dipertanyakan keakuratannya. Pasalnya, para ahli arkeologi memperkirakan piramid Mesir baru dibangun sekitar 2.500 SM. Ini berarti 7.500 tahun lebih awal di film ini!
Yang juga jadi perhatian saya, bagaimana bisa Evolet -sang gadis bermata biru- mengenakan pakaian sutra ala Romawi yang seksi? Di saat itu malah kain sutra belum ditemukan. Sekedar catatan, kain sutra seperti yang dikenakan Evolet baru ditemukan di Cina sekitar 1.000 SM. Pendeknya, film ini menuai banyak kritik di A.S., sama halnya dengan film-film Emmerich sebelumnya. Toh penonton tetap menyambut baik kehadiran film ini yang dibuktikan dengan keberhasilannya mencetak US$ 35,7 juta di pekan perdana pemutarannya di A.S. saja.
Jadi, seperti saya bilang di awal, film ini tetap menakjubkan. Penggambaran binatang pra-sejarah terutama mamooth -yang disebut mannak dalam film ini- tampak begitu realistik. Tambahan lagi, saya dibuat kagum dengan penggambaran “Egyptian pyramid in the making”. Wow! Sensasinya sama asyiknya saat seperti saya menyaksikan reka ulang imajiner “Eiffel Tower in the making” yang tampak sepintas di latar belakang dalam film Gangs of New York (2002). Dan jangan lupa, meski film ini bergenre epik-sejarah, pembuatnya tidak mengklaim film ini sebagai “true story”. So, buat saya salah-salah akurasi data sih oke saja kok.