Pemberitaan Media Seputar Wafatnya Soeharto

imag0167-media-soeharto.jpg

Oleh : Bhayu MH 

Media massa memberikan arti luas bagi masyarakat untuk ikut merasa terlibat dengan Soeharto. Semenjak sakitnya, media terutama televisi seolah mengajak masyarakat ikut ‘menunggui’ Soeharto di rumah sakit. Apalagi saat ia wafat, media berlomba-lomba mengeksploitasinya dengan menampilkan berita sebanyak dan selengkap mungkin.

Berikut adalah pantauan Bhayu M.H. terhadap sejumlah media yang teramati di Jakarta. Tidak dilakukan analisa teoretis terhadap pantauan ini, melainkan hanya semacam pendataan belaka. Media radio dan internet tidak sempat diamati karena keterbatasan manusiawi.

Media Televisi

Hanya Space Toon dan DAAI TV yang teramat minim menyiarkan berita soal Soeharto di hari wafatnya. Jangankan up-date berupa siaran langsung, telop atau running text saja tidak. Kedua televisi ini bak asyik bermain di dunianya sendiri. Space Toon menayangkan film kartun di jam meninggalnya Soeharto pada hari Minggu (27/1), sementara DAAI TV menyiarkan drama serial Taiwan yang tidak populer di sini.

Sementara stasiun televisi lainnya seakan berlomba menggelar siaran langsung dan up-date. Metro TV tampaknya yang paling banyak menggelar kamera dan reporternya. Sementara sudut yang paling bagus terutama saat di Astana Giribangun justru diperoleh SCTV.

Saat Siti Hartinah meninggal dimana Soeharto sebagai suaminya masih Presiden RI, dilakukan TV pooling dimana seluruh stasiun televisi yang ada saat itu (TPI, RCTI, SCTV) diwajibkan menyiarkan ulang atau relay dari TVRI. Saat Soeharto meninggal kemarin, memang tidak ada kebijakan seperti itu, namun sepertinya TVRI bersama Sekertariat Negara diberi hak eksklusif menempatkan kameranya hingga jarak terdekat. Hal itu terutama terlihat saat jenazah Soeharto masih disemayamkan di jalan Cendana. Adanya tulisan “Eksklusif TVRI” makin menegaskan hal itu.

Media Cetak

Beda dengan televisi dimana masih ada ‘sempalan’, media cetak seluruhnya larut dalam euforia pemberitaan Soeharto. Bahkan media terbitan sore Sinar Harapan pada hari Senin (28/1) mengeluarkan edisi khusus yang tipis namun dijual dua kali lipat: Rp 4.000,00! Sebuah trik pemasaran memanfaatkan momentum yang agak keterlaluan.

Tentu saja media massa lain yang dipantau juga menaruh headline tentang wafatnya Soeharto. Harian pagi yang diamati adalah Kompas, Media Indonesia, Warta Kota, Seputar Indonesia, Republika, Rakyat Merdeka, Pos kota, Indo Pos dan KoranTempo. Sementara harian sore adalah Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. Yang paling istimewa adalah harian Kompas yang menurunkan tulisan dari the big boss-nya -Jakob Oetama- di halaman pertamanya. Meski begitu, foto yang dipilih ternyata tidak istimewa karena ternyata serupa dengan yang dipakai oleh Media Indonesia. Meski kedua foto itu jelas diambil fotografer berbeda dari masing-masing harian, namun momentumnya sama karena pakaian batik yang dikenakan Soeharto sama.

Momentum wafatnya Soeharto ini juga tidak dilewatkan majalah berita mingguan Tempo yang sebenarnya sudah siap naik cetak saat Soeharto wafat. Laporan utamanya sudah disusun tentang rontoknya bursa dunia yang dipicu oleh bursa saham Amerika Serikat. Sebagai solusinya, dibuatlah sisipan liputan khusus Soeharto lengkap dengan cover jacket bergambar Soeharto.

Tabloid mingguan pun tak mau ketinggalan. Ada dua tabloid yang sudah  mengeluarkan edisi spesial (Nova) dan edisi khusus (Bintang Indonesia) saat tulisan ini dibuat, masing-masing dengan 24 dan 32 halaman berwarna.

Kritik untuk Media

Selasa (29/1), hanya sehari setelah Soeharto dimakamkan, bermunculan kritik terhadap media yang dianggap tidak proporsional dan berlebihan dalam memberitakan wafatnya Soeharto. Usman Hamid –Koordinator KONTRAS- menyatakan bahwa seharusnya negara memperhatikan pengusutan keluarga korban pelanggaran HAM oleh Soeharto. Karena baginya, aneh bila hanya sehari setelah Soeharto wafat negara sudah memberikan sikap formal, namun justru kepada para korbannya tidak ada perhatian berarti.

Sementara Effendi Ghazali –pakar komunikasi dari UI- juga mengkritisi pemberitaan media yang tidak berimbang. “Dengan situasi seperti ini, pemimpin-pemimpin kita sejak sekarang sudah mengatur preseden bahwa setiap presiden harus dimaafkan meski dia bersalah. Itulah yang berbahaya,” ujarnya.

Senada dengan kedua pakar di atas, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Heri Hendratmo mengemukakan kemungkinan adanya konspirasi untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap Soeharto. Ia mengemukakan ini justru sebelum Soeharto meninggal, pada suatu diskusi AJI Jakarta bertajuk “Potret Soeharto dalam Bingkai Media” tanggal 23 Januari 2008.

Sepengamatan penulis sendiri, media memang bias dalam memberitakan Soeharto saat wafatnya. Ini berbeda dengan sejumlah media asing yang “fifty-fifty”: menyebut jasa dan dosa Soeharto sekaligus. Keberimbangan media Indonesia memang masih harus dibudayakan di tengah iklim kebebasan pers yang meruyak. 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s