Banjir di Soloku
oleh : Yoice Pauline Perdanayanti
Perasaan itu terulang lagi : hati tersayat menyaksikan Solo tertimpa musibah. Serupa saat kerusuhan pecah pada Mei 1998 di kota kelahiran saya ini. Kembali Solo tercinta saya prihatin, walaupun dengan tingkat keprihatinan lebih rendah. Setelah kejadian yang disebut ‘banjir bandang’ terjadi pada tahun 1966-an, beberapa wilayah di Solo tergenang air lagi. Siapa yang nyana.
Di kampung-kampung yang anak-anaknya justru terbiasa main sepak bola di tengah hujan (seperti di Kampung Sewu, Sangkrah, Pucang Sawit), saat ini justru harus merasa was-was setiap kali hujan datang. Bengawan Solo yang biasa mengalir tenang, sekarang limpahan airnya justru memenuhi seperempat bagian taman kota di perbatasan Kotamadya Solo. Bahkan kawasan elit Solo Baru pun tidak luput dari air yang terus naik, sehingga beberapa warganya mengungsi.
Untung saja di Solo kami bersaudara. Segera saja posko-posko banjir didirikan di mana-mana. Daftar barang yang diperlukan para pengungsi diterbitkan. Pakaian, selimut, obat-obatan (terutama diare dan penyakit kulit), lalu air. Tiga yang pertama bisa saja didapat, air yang memusingkan.
Tidak berhenti sampai di situ. Beberapa sekolah dua minggu ini sedang ujian. Bagaimana dengan siswa yang rumahnya kebanjiran, akses jalan dari rumah ke sekolah yang tertutup, dan tentunya konsentrasi yang terpaksa pecah dengan beban tak terduga ini.Sedih, tapi tentu saja tidak bisa berhenti sampai di situ. Saat ini sebisanya membantu, tapi selanjutnya ? Menjaga sampah tidak ikut-ikutan menghuni aliran sungai. Bersihkan saluran-saluran air, tidak hanya saat momen 17 Agustusan. Semua hanya agar Solo tetap BERSERI.
Foto: lacivideo.blogspot.com