Will Smith rasa Milla Jovovich. Begitulah yang saya cecap saat menyaksikan film ini. Tema cerita film ini memang amat mirip dengan trilogi Resident Evil yang sudah dibuat, mulai Resident Evil (2002), Resident Evil: Apocalypse (2004), hingga yang terbaru Resident Evil: Extinction (2007). Tema dasarnya sama-sama dunia manusia ‘pasca kiamat’ yang disebabkan oleh virus aneh yang mengakibatkan mutasi gen pada manusia, lazim disebut biohazard. Will Smith berperan sebagai Letnan Kolonel Robert Neville yang juga seorang ahli virus (virologist), yang merupakan satu-satunya orang yang selamat di kota New York. Virus Krippen -sesuai nama penemunya- yang semula dimaksudkan sebagai obat penyembuh kanker ternyata malah berakibat maut. Populasi manusia tersapu habis pada 2009 setelah virus ini juga menyebar lewat udara. 5,4 milyar orang mati, 12 juta masih hidup namun diancam oleh 588 juta orang yang terinfeksi. Yang terakhir ini menjadi seperti zombie yang memangsa manusia lain. Bedanya dengan Resident Evil, mereka bukan zombie -mayat hidup- melainkan manusia yang terinfeksi dan mudah ditembak tanpa harus kena kepala seperti zombie.Penggambaran kotanya bagi saya menakjubkan. Rasa ngerinya lebih mencekat daripada The Day After Tommorow (2004) yang juga menceritakan dunia pasca kiamat, namun bedanya ia disebabkan perubahan iklim. Lebih dahsyat lagi karena lokasi shootingnya bukan membangun kota miniatur atau jalan buatan seperti The Matrix: Revolution (2003), melainkan benar-benar di New York City lengkap dengan jembatan Brooklyn-nya!Menonton film ini perlu ‘energi jantung’ ekstra sebab kengeriannya masuk akal, waktunya dekat dengan kita sekarang hingga seolah merupakan ‘ramalan masa depan’. Cerita film yang dimulai pada 2009 dan diawali dengan siaran talkshow televisi dengan Dr. Krippen yang menemukan obat penyembuh kanker seakan merupakan realita. Saat tragedi dimulai tahun 2012 pun seolah merupakan prediksi yang dekat dengan kita di 2007.Hanya saja saya terbangunkan dari kengerian justru saat para manusia terinfeksi itu muncul. Saat Neville mengejar anjingnya Sam yang masuk ke dalam gedung mengejar rusa (yang diburu Neville untuk dimakan), mereka bertemu dengan puluhan orang terinfeksi. Karena mutasi gen, mereka jadi seperti anjing rabies yang gemar makan daging…manusia! Karakter ini amat mirip dengan zombie. Jadi, saya mulai sadar ini khayalan. Lebih-lebih saat diceritakan mereka takut sinar ultraviolet seperti dracula, saya lantas teringat 30 Days of Night (2007) dan penggambaran mereka yang mirip satu sama lain itu (karena dibuat fully computer generated) membuat saya teringat 28 Days Later (2002) yang disebut sebagai film zombie klasik. Agak terlalu biasa, memang.Demikian pula saat mereka mendatangi rumah Neville yang dibuat bak benteng lengkap dengan jebakan bom dan pintu besi cuma dengan mengikuti bau darah Neville yang terluka, rasa komiknya makin kental. Manusia terinfeksi itu bisa memanjat dinding ala Spiderman bak makhluk-makhluk di Lord of The Ring: The Return of The King (2003). Terlebih mereka punya pemimpin yang cerdas, padahal digambarkan virus itu membuat manusia serupa binatang saja yang cuma punya naluri membunuh atau dibunuh. Lebih aneh lagi saat saya sadar kenapa cuma anjing sajalah binatang yang terinfeksi. Sementara burung, rusa, dan singa yang juga muncul di film ini tidak.Segala keanehan itu tidak akan dipertanyakan dari Resident Evil, karena film itu murni khayalan yang diangkat dari video game. Sementara film ini dibuat seolah merupakan kenyataan. Toh semua itu tidak mengurangi keasyikan menonton film ini. Akting Will Smith patut dipuji dimana ia senantiasa berhasil memberi warna tiap karakter yang dimainkannya. Penonton akan dibuat tertekan oleh kesepian dan kesendirian yang dialami karakternya. Sayangnya, ending film ini terkesan terburu-buru sehingga banyak penonton yang berujar, “Udah, gitu doang?” Toh saya tetap menganjurkan bagi penyuka genre action drama-horror untuk tidak melewatkan film yang diangkat dari novel karya Richard Matheson (1954) ini.