“Hidup ini tidak hitam-putih,” kata orang bijak.
Seseorang menyambar, “Ya, ada abu-abu di antaranya.” “
Tidak cuma itu….,” sang bijak menyambung, tapi belum usai ia berkata, yang lain menyahuti, “Ya, ada gradasi warna abu-abu bukan?”
Sang bijak tersenyum. “Tidak hanya itu, tapi ada jutaan warna.” Semua terdiam.
“Tahukah kalian apa yang paling mengerikan dari warna?” Tidak cukup hanya diam, tapi hening. Hanya suara angin berdesau yang terdengar. Semua yang hadir menundukkan kepala. Sang bijak memandangi satu per satu. Siapa pun yang bersirobok dengannya buru-buru membuang pandang, takut dihela tanya selempang.
“Warna tidak ada. Ia cuma bias. Ia adalah pantulan dan pijaran. Kalian tidak akan bisa menemui warna di mana pun,” sang bijak berkata yang disambut kernyitan bingung semua. Cahaya itu tidak berwarna, karena putih bukanlah warna. Ia adalah kehadiran cahaya, sementara hitam adalah ketiadaannya. Ia lantas memutar cakram warna dan terlihatlah bahwa semua warna itu berpadu menjadi putih. Semua yang hadir mengangguk, seolah mengerti.
“Tapi jangan takut, bukan cuma warna yang tiada, semua yang ada di kepala kalian pun tiada. Sebut saja: keadilan, kebijakan, kesopanan, kemakmuran, apa pun. Semua itu cuma konsep di kepala. Para filsuf menyebutnya dengan berbagai nama, tapi maknanya sama,” ujar sang bijak. “Tapi, bukan berarti tidak ada yang penting. Karena di situlah terletak perbedaan kita dengan makhluk lain. Manusia membuat sendiri tatanan masyarakatnya.”
Saya menulis kisah di atas karena saya kecewa, ternyata seorang yang semula saya kira bijak, malah memandang dunia dengan hitam-putih. Padahal dalam wejangannya ia selalu berumbar “dunia tidak hitam-putih”. Sementara saat ada yang bertanya -baru bertanya dan belum mencela- ia gemar mengumbar kalimat “salah, pokoknya itu salah!”
Sayang sekali. Memang selalu lebih mudah bicara daripada melaksanakan. Dan saya pun memilih diam daripada terus menghantamkan batok kepala ke kepala batu. Hmmmhhhh….